Kek aku malu padamu
Unknown |
cerpen
Tweet |
"Kek
aku malu padamu"
Kuhentikan mobil tepat di ujung kandang tempat
berjualan hewan Qurban. Saat pintu mobil kubuka, bau tak sedap memenuhi rongga
hidungku, dengan spontan aku menutupnya dengan saputangan.
Suasana di tempat itu sangat ramai, dari para penjual
yang hanya bersarung hingga ibu-ibu berkerudung Majelis Taklim, tidak
terkecuali anak-anak yang
ikut menemani orang tuanya melihat hewan yang akan di-Qurban-kan pada Idul Adha
nanti, sebuah pembelajaran
yang cukup baik bagi anak-anak sejak dini tentang
pengorbanan NabiAllah Ibrahim & Nabi Ismail.
Aku masuk dalam kerumunan orang-orang
yang sedang bertransaksi memilih hewan yang akan di sembelih saat Qurban nanti.
Mataku tertuju pada seekor kambing coklat bertanduk panjang, ukuran badannya
besar melebihi kambing-kambing di sekitarnya.
” Berapa harga kambing yang itu pak ?”
ujarku menunjuk kambing coklat tersebut.
” Yang coklat itu yang terbesar pak. Kambing Mega Super dua juta rupiah tidak kurang” kata si pedagang berpromosi matanya berkeliling sambil tetap melayani calon pembeli lainnya.
” Tidak bisa turun pak?” kataku mencoba
bernegosiasi.
” Tidak kurang tidak lebih, sekarang
harga-harga serba mahal” si pedagang bertahan.
” Satu juta lima ratus ribu ya?” aku
melakukan penawaran pertama
” Maaf pak, masih jauh.” ujarnya cuek.
Aku menimbang-nimbang, apakah akan terus
melakukan penawaran terendah berharap si pedagang berubah pendirian dengan
menurunkan harganya.
” Oke pak bagaimana kalau satu juta
tujuh ratus lima puluh ribu?” kataku
” Masih belum nutup pak ” ujarnya tetap
cuek
” Yang sedang mahal kan harga minyak
pak. Kenapa kambing ikut naik?” ujarku berdalih mencoba melakukan penawaran
termurah.
” Yah bapak, meskipun kambing gak minum
minyak. Tapi dia gak bisa datang ke sini sendiri. Tetap saja harus di angkut
mobil pak, dan mobil bahan bakarnya bukan rumput” kata si pedagang meledek.
Dalam hati aku berkata, alot juga
pedagang satu ini. Tidak menawarkan harga selain yang sudah di kemukakannya di
awal tadi. Pandangan aku alihkan ke kambing lainnya yang lebih kecil dari si
coklat. Lumayan bila ada perbedaan harga lima ratus ribu.
Kebetulan dari tempat penjual kambing ini, aku
berencana ke toko ban mobil. Mengganti ban belakang yang sudah mulai terlihat
halus tusirannya. Kelebihan tersebut bisa untuk menambah budget ban yang
harganya kini selangit.
” Kalau yang belang hitam putih itu
berapa bang?” kataku kemudia
” Nah yang itu Super biasa. Satu juta
tujuh ratus lima puluh ribu rupiah” katanya
Belum sempat aku menawar, di sebelahku
berdiri seorang kakek menanyakan harga kambing coklat Mega Super tadi. Meskipun
pakaian “korpri” yang ia kenakan lusuh, tetapi wajahnya masih terlihat segar.
” Gagah banget kambing itu. Berapa
harganya mas?” katanya kagum
” Dua juta tidak kurang tidak lebih
kek.” kata si pedagang setengah malas menjawab setelah melihat penampilan si
kakek.
” Weleh larang men regane (mahal benar
harganya) ?” kata si kakek dalam bahasa Purwokertoan
” bisa di tawar-kan ya mas ?” lanjutnya mencoba negosiasi juga.
” Cari kambing yang lain aja kek. ” si pedagang
terlihat semakin malas meladeni.
” Ora usah (tidak) mas. Aku arep sing
apik lan gagah Qurban taun iki (Aku mau yang terbaik dan gagah untuk Qurban
tahun ini)
Duit-e (uangnya) cukup kanggo (untuk)
mbayar koq mas.” katanya tetap bersemangat seraya mengeluarkan bungkusan dari
saku celananya. Bungkusan dari kain perca yang juga sudah lusuh itu di bukanya,
enam belas lembar uang seratus ribuan dan sembilan lembar uang lima puluh
ribuan dikeluarkan dari dalamnya.
” Iki (ini) dua juta rupiah mas. Weduse
(kambingnya) dianter ke rumah ya mas?” lanjutnya mantap tetapi tetap
bersahaja.Si pedagang kambing kaget, tidak terkecuali aku yang memperhatikannya
sejak tadi.
Dengan wajah masih ragu tidak percaya si
pedagang menerima uang yang disodorkan si kakek,
kemudian di hitungnya perlahan lembar demi lembar
uang itu.” Kek, ini ada lebih lima puluh ribu rupiah” si pedagang mengeluarkan
selembar lima puluh ribuan
” Ora ono ongkos kirime tho…?” (Enggak
ada ongkos kirimnya ya?) si kakek seakan tahu uang yang diberikannya berlebih ”
Dua juta sudah termasuk ongkos kirim” si pedagang yg cukup jujur memberikan
lima puluh ribu ke kakek , ” mau di antar ke mana mbah?” (tiba-tiba panggilan
kakek berubah menjadi mbah)
” Alhamdulillah, lewih (lebih) lima
puluh ribu iso di tabung neh (bisa ditabung lagi)” kata si kakek sambil
menerimanya ” tulung anterke ning deso cedak kono yo (tolong antar ke desa
dekat itu ya),sak sampene ning mburine (sesampainya di belakang) Masjid
Baiturrohman, takon ae umahe (tanya saja rumahnya) mbah Sutrimo pensiunan
pegawe Pemda Pasir Mukti, InsyaAllah bocah-bocah podo ngerti (InsyaAllah
anak-anak sudah tahu).”
Setelah selesai bertransaksi dan
membayar apa yang telah di sepakatinya, si kakek berjalan ke arah sebuah sepeda
tua yang di sandarkan pada sebatang pohon pisang, tidak jauh dari X-Trail
milikku.
Perlahan di angkat dari sandaran, kemudian dengan sigap di kayuhnya tetap dengan semangat.
Entah perasaan apa lagi yang dapat
kurasakan saat itu, semuanya berbalik ke arah berlawanan dalam pandanganku.
Kakek tua pensiunan pegawai Pemda yang hanya berkendara sepeda engkol,
sanggup membeli hewan Qurban yang terbaik untuk
dirinya.
Aku tidak tahu persis berapa uang
pensiunan PNS yang diterima setiap bulan oleh si kakek. Yang aku tahu, di
sekitar masjid Baiturrohman tidak ada rumah yang berdiri dengan mewah,
rata-rata penduduk sekitar desa Pasir Mukti hanya
petani dan para pensiunan pegawai rendahan.
Yang pasti secara materi, sangatlah jauh
di banding penghasilanku sebagai Manajer perusahaan swasta asing.Yang sanggup
membeli rumah di kawasan cukup bergengsi Yang sanggup membeli kendaraan roda empat yang harga
ban-nya saja cukup membeli seekor kambing Mega Super, Yang sanggup mempunyai
hobby berkendara moge (motor gede) dan memilikinya
Yang sanggup mengkoleksi “raket” hanya
untuk olah-raga seminggu sekali.
Yang sanggup juga membeli hewan Qurban
dua ekor sapi sekaligus
Tapi apa yang aku pikirkan?
Aku hanya hendak membeli hewan Qurban
yang jauh di bawah kemampuanku yang harganya tidak lebih dari service rutin
mobil X-Trail, kendaraanku di dunia fana. Sementara untuk kendaraanku di
akhirat kelak, aku berpikir seribu kali saat membelinya.
Ya Allah, Engkau yang Maha
Membolak-balikan hati manusia balikkan hati hambaMu yang tak pernah berSyukur ini
ke arah orang yang selalu pandai menSyukuri
nikmatMu
|
|
"Kek
aku malu padamu"
Kuhentikan mobil tepat di ujung kandang tempat
berjualan hewan Qurban. Saat pintu mobil kubuka, bau tak sedap memenuhi rongga
hidungku, dengan spontan aku menutupnya dengan saputangan.
Suasana di tempat itu sangat ramai, dari para penjual
yang hanya bersarung hingga ibu-ibu berkerudung Majelis Taklim, tidak
terkecuali anak-anak yang
ikut menemani orang tuanya melihat hewan yang akan di-Qurban-kan pada Idul Adha
nanti, sebuah pembelajaran
yang cukup baik bagi anak-anak sejak dini tentang
pengorbanan NabiAllah Ibrahim & Nabi Ismail.
Aku masuk dalam kerumunan orang-orang
yang sedang bertransaksi memilih hewan yang akan di sembelih saat Qurban nanti.
Mataku tertuju pada seekor kambing coklat bertanduk panjang, ukuran badannya
besar melebihi kambing-kambing di sekitarnya.
” Berapa harga kambing yang itu pak ?”
ujarku menunjuk kambing coklat tersebut.
” Yang coklat itu yang terbesar pak. Kambing Mega Super dua juta rupiah tidak kurang” kata si pedagang berpromosi matanya berkeliling sambil tetap melayani calon pembeli lainnya.
” Yang coklat itu yang terbesar pak. Kambing Mega Super dua juta rupiah tidak kurang” kata si pedagang berpromosi matanya berkeliling sambil tetap melayani calon pembeli lainnya.
” Tidak bisa turun pak?” kataku mencoba
bernegosiasi.
” Tidak kurang tidak lebih, sekarang
harga-harga serba mahal” si pedagang bertahan.
” Satu juta lima ratus ribu ya?” aku
melakukan penawaran pertama
” Maaf pak, masih jauh.” ujarnya cuek.
Aku menimbang-nimbang, apakah akan terus
melakukan penawaran terendah berharap si pedagang berubah pendirian dengan
menurunkan harganya.
” Oke pak bagaimana kalau satu juta
tujuh ratus lima puluh ribu?” kataku
” Masih belum nutup pak ” ujarnya tetap
cuek
” Yang sedang mahal kan harga minyak
pak. Kenapa kambing ikut naik?” ujarku berdalih mencoba melakukan penawaran
termurah.
” Yah bapak, meskipun kambing gak minum
minyak. Tapi dia gak bisa datang ke sini sendiri. Tetap saja harus di angkut
mobil pak, dan mobil bahan bakarnya bukan rumput” kata si pedagang meledek.
Dalam hati aku berkata, alot juga
pedagang satu ini. Tidak menawarkan harga selain yang sudah di kemukakannya di
awal tadi. Pandangan aku alihkan ke kambing lainnya yang lebih kecil dari si
coklat. Lumayan bila ada perbedaan harga lima ratus ribu.
Kebetulan dari tempat penjual kambing ini, aku
berencana ke toko ban mobil. Mengganti ban belakang yang sudah mulai terlihat
halus tusirannya. Kelebihan tersebut bisa untuk menambah budget ban yang
harganya kini selangit.
” Kalau yang belang hitam putih itu
berapa bang?” kataku kemudia
” Nah yang itu Super biasa. Satu juta
tujuh ratus lima puluh ribu rupiah” katanya
Belum sempat aku menawar, di sebelahku
berdiri seorang kakek menanyakan harga kambing coklat Mega Super tadi. Meskipun
pakaian “korpri” yang ia kenakan lusuh, tetapi wajahnya masih terlihat segar.
” Gagah banget kambing itu. Berapa
harganya mas?” katanya kagum
” Dua juta tidak kurang tidak lebih
kek.” kata si pedagang setengah malas menjawab setelah melihat penampilan si
kakek.
” Weleh larang men regane (mahal benar
harganya) ?” kata si kakek dalam bahasa Purwokertoan
” bisa di tawar-kan ya mas ?” lanjutnya mencoba negosiasi juga.
” bisa di tawar-kan ya mas ?” lanjutnya mencoba negosiasi juga.
” Cari kambing yang lain aja kek. ” si pedagang
terlihat semakin malas meladeni.
” Ora usah (tidak) mas. Aku arep sing
apik lan gagah Qurban taun iki (Aku mau yang terbaik dan gagah untuk Qurban
tahun ini)
Duit-e (uangnya) cukup kanggo (untuk)
mbayar koq mas.” katanya tetap bersemangat seraya mengeluarkan bungkusan dari
saku celananya. Bungkusan dari kain perca yang juga sudah lusuh itu di bukanya,
enam belas lembar uang seratus ribuan dan sembilan lembar uang lima puluh
ribuan dikeluarkan dari dalamnya.
” Iki (ini) dua juta rupiah mas. Weduse
(kambingnya) dianter ke rumah ya mas?” lanjutnya mantap tetapi tetap
bersahaja.Si pedagang kambing kaget, tidak terkecuali aku yang memperhatikannya
sejak tadi.
Dengan wajah masih ragu tidak percaya si
pedagang menerima uang yang disodorkan si kakek,
kemudian di hitungnya perlahan lembar demi lembar
uang itu.” Kek, ini ada lebih lima puluh ribu rupiah” si pedagang mengeluarkan
selembar lima puluh ribuan
” Ora ono ongkos kirime tho…?” (Enggak
ada ongkos kirimnya ya?) si kakek seakan tahu uang yang diberikannya berlebih ”
Dua juta sudah termasuk ongkos kirim” si pedagang yg cukup jujur memberikan
lima puluh ribu ke kakek , ” mau di antar ke mana mbah?” (tiba-tiba panggilan
kakek berubah menjadi mbah)
” Alhamdulillah, lewih (lebih) lima
puluh ribu iso di tabung neh (bisa ditabung lagi)” kata si kakek sambil
menerimanya ” tulung anterke ning deso cedak kono yo (tolong antar ke desa
dekat itu ya),sak sampene ning mburine (sesampainya di belakang) Masjid
Baiturrohman, takon ae umahe (tanya saja rumahnya) mbah Sutrimo pensiunan
pegawe Pemda Pasir Mukti, InsyaAllah bocah-bocah podo ngerti (InsyaAllah
anak-anak sudah tahu).”
Setelah selesai bertransaksi dan
membayar apa yang telah di sepakatinya, si kakek berjalan ke arah sebuah sepeda
tua yang di sandarkan pada sebatang pohon pisang, tidak jauh dari X-Trail
milikku.
Perlahan di angkat dari sandaran, kemudian dengan sigap di kayuhnya tetap dengan semangat.
Perlahan di angkat dari sandaran, kemudian dengan sigap di kayuhnya tetap dengan semangat.
Entah perasaan apa lagi yang dapat
kurasakan saat itu, semuanya berbalik ke arah berlawanan dalam pandanganku.
Kakek tua pensiunan pegawai Pemda yang hanya berkendara sepeda engkol,
sanggup membeli hewan Qurban yang terbaik untuk
dirinya.
Aku tidak tahu persis berapa uang
pensiunan PNS yang diterima setiap bulan oleh si kakek. Yang aku tahu, di
sekitar masjid Baiturrohman tidak ada rumah yang berdiri dengan mewah,
rata-rata penduduk sekitar desa Pasir Mukti hanya
petani dan para pensiunan pegawai rendahan.
Yang pasti secara materi, sangatlah jauh
di banding penghasilanku sebagai Manajer perusahaan swasta asing.Yang sanggup
membeli rumah di kawasan cukup bergengsi Yang sanggup membeli kendaraan roda empat yang harga
ban-nya saja cukup membeli seekor kambing Mega Super, Yang sanggup mempunyai
hobby berkendara moge (motor gede) dan memilikinya
Yang sanggup mengkoleksi “raket” hanya
untuk olah-raga seminggu sekali.
Yang sanggup juga membeli hewan Qurban
dua ekor sapi sekaligus
Tapi apa yang aku pikirkan?
Aku hanya hendak membeli hewan Qurban
yang jauh di bawah kemampuanku yang harganya tidak lebih dari service rutin
mobil X-Trail, kendaraanku di dunia fana. Sementara untuk kendaraanku di
akhirat kelak, aku berpikir seribu kali saat membelinya.
Ya Allah, Engkau yang Maha
Membolak-balikan hati manusia balikkan hati hambaMu yang tak pernah berSyukur ini
ke arah orang yang selalu pandai menSyukuri
nikmatMu
0 komentar:
Plaas 'n opmerking